Selasa, 25 Maret 2014
Demi Kursi Dewan Cara Syirik pun Ditempuh
(SI Online) - Astaghfirullah. Cukup mengejutkan, ketika turun dari Masjid setelah salat zuhur, Kamis (13 Maret) seorang pemuda menyodori sebuah surat kabar terbitan Jawa Timur yang memuat sebuah foto hitam-putih; perempuan muda berjilbab, telapak tangan kanan dan kiri dipertemukan di dada, takzim bersikap menyembah, sambil berendam di sungai, yang ketika itu sedang mengalir air keruh berlumpur.
Sungai Tempuk yang membelah hutan Jati, yang dikenal dengan sebutan Alas Ketonggo. Mengalir tidak jauh dari tempat yang dikeramatkan dan dikenal sebagai tempat pemujaan (punden, Jawa) yang bernama Srigati. Lokasi yang dikeramatkan ini, sekira 20 Kilometer arah barat daya Kota Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Dipercaya, sungai ini keramat dengan aliran air dapat memberikan berkah. Punden Srigati, diyakini merupakan peninggalan (petilasan, Jawa) Raden Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir ketika dalam pelarian ke Gunung Lawu, setelah tergusur dari tampuk kekuasaannya.
Konon di punden Srigati, Raden Brawijaya V bersemadi untuk “memanggil” berkumpulnya pengikutnya yang tercerai-berai. Dari punden ini kemudian melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Lawu—gunung berapi yang sudah lama beristirahat dan tercatat terakhir meletus di dalam tahun 1885. Di puncak Gunung Lawu yang menjadi bagian perbatasan Jawa Timur – Jawa Tengah ini, Raden Brawijaya V membangun padepokkan dan sebagai pertapa kemudian mengganti nama menjadi Sunan Lawu.
Sumardji, juru kunci Punden Srigati mengungkap, banyak kalangan yang mendatangi Sanggar Pamujan Srigati dengan berbagai keperluan.
“Mereka ‘nyepi bersemadi’ bermalam-malam di sini. Entah apa saja yang diminta. Beberapa waktu berselang kemudian ada yang datang kembali dan melaksanakan nazarnya. Ada yang memenuhi nazar itu dengan menggelar wayang kulit semalam suntuk atau bahkan beberapa hari dan beberapa malam secara terus menerus. Ya, di tengah hutan ada pertunjukkan wayang kulit. Tidak ‘penting’ ada penontonnya atau tidak,”ungkapnya.
Menjelang Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) kali ini, lanjut Sumardji, setidaknya sejak sebulan terakhir, sudah lebih 50 orang datang ke Punden Srigati di desa Babadan Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi, Jawa Timur ini. Mereka menggelar ritual doa, sesuai dengan arahan paranormal (dukun) yang mendampingi. Ada yang hanya sekadar mandi, bahkan ada yang sampai berendam hingga nyaris seharian di Sungai Tempuk yang dianggap sangat keramat.
Mereka tidak saja datang dari wilayah Kabupaten Ngawi – Jawa Timur. Tetapi banyak pula yang datang dari daerah-daerah lain.
“Rata-rata mereka memanjatkan harapan agar dapat terpilih dan menjadi anggota DPR RI, DPRD Propinsi, DPRD Kota dan Kabupaten ataupun anggota DPD. Datang mereka secara sembunyi-sembunyi. Tidak mencolok, tidak menggunakan kendaraan pribadi. Melainkan ada yang datang diantar tukang ojek. Rata-rata setiap hari ada tiga atau lima orang yang datang. Identitas mereka, sangat dirahasiakan demikian juga dengan asal partainya,” tutur Sumardji.
Wartawan Harian Surya, berhasil mengintip aktivitas calon anggota dewan, yang berupaya agar terpilih sampai harus mendatangi dukun serta lokasi-lokasi keramat. Salah satunya mendatangi Punden Srigati di tengah Hutan Jati Ketonggo ini. Dipergoki salah seorang perempuan, Calon Anggota Legislatif (Caleg) DPRD Kabupaten dari Partai Demokrat di Daerah Pemilihan V Kabupaten Ngawi. Caleg berjilbab itu adalah Miftahul Jannah. Datang ke tengah Hutan Jati “Alas Ketonggo” yang di keramatkan ini dengan diantarkan suaminya.
Perempuan ini tidak dapat mengelak dan kemudian mengaku terus-terang, datang ke Alas Ketonggo ini memang hendak menggelar ritual doa, mandi dan berendam di Sungai Tempuk, yang ketika itu dengan aliran air yang sedang deras dan keruh berlumpur.
“Tidak masalah airnya sedang deras dan keruh. Yang penting berkah. Datang ke sini karena memang sudah dekat dengan Pemilu Legeslatif, bertujuan mendapatkan ridho dan berdoa agar dapat terpilih, lolos menjadi anggota DPRD Kabupaten Ngawi,” katanya Miftahul Jannah mengaku terus terang.
Riuhlah para pemuda di Masjid, tempat Suara Islam Online ikut berjamaah salat zuhur. “Air sungai yang keruh kok dianggap mampu memberi berkah. Ini sudah Tahyul bahkan Musyrik,” kata seorang pemuda bernada memberi vonis. Sedang yang lain membenarkan; “Mestinya sebagai seorang muslimah, mestinya mengetahui untuk memperoleh rida dan memanjatkan doa, tidak ke sungai dan punden begitu,” katanya.
Pemuda yang menyodorkan koran tidak mau kalah, langsung menyodorkan pendapatnya, “Masya Alah. Mereka seperti sudah tidak peduli lagi, apa yang dilakukan sebenarnya sudah ke arah tahayul bahkan sudah ke arah musyrik. Mestinya sebagai seorang muslimah, sangat faham tempat-tempat mustajabah untuk memanjatkan doa,” katanya.
Bukankah bisa sambil ibadah Umrah. Di Masjidil Haram Makkah Al Muharam, di sekitar Baitullah, ada Hajr Aswad, Multazam, Hijr Ismail dan Rukun Yamani; termasuk Raudhah di Masjid Nabawwi di Madinah Al Munawarah, yang jelas ada tuntunan dari Rasulullah Saw, yang menyebut sebagai tempat-tempat mustajabah untuk memanjatkan doa,
“Kalau tidak ada biaya untuk ke Tanah Suci, rasanya ya tidak mungkin, wong bisa mencalonkan diri sebagai Caleg. Tapi kalau memang benar tidak ada biaya, kan bisa bermunajad di Masjid-masjid. Bahkan bisa saja bermunajad dengan salat malam baik di masjid maupun di rumah. Masya Allah. Bukan malah ketempat-tempat dikeramatkan, menandakan meminta sudah kepada selain Allah,” ungkapnya.
Rep: Muhammad Halwan
Sumber : Harian Surya/dbs
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar